Senin, 16 Mei 2016

DIGITAL NATIVE DAN SOLUSI PUSTAKAWAN



DIGITAL NATIVE DAN SOLUSI PUSTAKAWAN

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Madya Unhas)

Tulisan ini untuk memberi gambaran tentang “Digital Native” dan solusi yang dapat dilakukan pustakawan dalam “menangani” perkembangan dan kebutuhan digital native di perpustakaan. Digital native (dapat diartikan: digital sejak lahir). Digital Native diperkenalkan Marc Prensky melalui serangkaian artikelnya di tahun 2001. Digital native adalah generasi yang memiliki perbedaan dalam cara berpikir dan cara menggunakan pikiran untuk memproses informasi. Generasi yang digital native, sejak lahir terterpa teknologi komputer sejak usia amat dini sehingga otak (benak) mereka berbeda dari generasi sebelumnya.

Jauh sebelum istilah digital natives yang dipopularkan Prensky, seorang ilmuwan Jerman, Gunther Kress (1997), telah mengingatkan tentang adanya 4 perubahan penting dalam kegiatan dan kebiasaan membaca, yaitu:
  1. The shift from page to screen (munculnya kebiasaan membaca di atas layar).
  2. The shift from text as an ordered word to text as a set of resources (teks bukan lagi sematamata rangkaian kata yang teratur, tetapi juga sumberdaya untuk berpindah-pindah makna, untuk perilaku copy and paste, dan untuk dikutip atau dirujuk).
  3. The shift from the ordered path to the unordered arrangement of the hypertext (kegiatan membaca tak lagi harus runut dan linear (garis lurus), tetapi dapat melompat-lompat dari satu teks ke teks lainnya).
  4. A shift from reading to use (membaca bukan lagi sekadar untuk membaca, melainkan untuk menggunakan bacaan itu dalam berbagai aktivitas)
 Banyak klaim tentang keterampilan dan kefasihan generasi muda dalam menggunakan teknologi komputer tidak didukung oleh bukti-bukti empirik. Selain itu, diskusi tentang karakteristik digital native ini juga seringkali diwarnai oleh debat tentang moral dan ideologi sehingga lebih mencerminkan "kepanikan moral” (moral panic) di masyarakat ketimbang konsep ilmiah tentang perilaku generasi canggih tersebut.

Terlepas dari perdebatan tersebut, sebagai seorang pustakawan, konsep digital natives perlu menjadi perhatian khusus dan memungkinkan untuk memperhatikan, mempelajari, dan memberi ruang untuk mengenal sikap dan perilaku generasi yang memiliki pengetahuan digital sejak lahir tersebut. Perubahan “cara kerja” pustakawan perlu dilakukan, agar generasi digital natives ini dapat menjadikan perpustakaan sebagai tempat untuk memperoleh sumber-sumber informasi yang relevan dengan kebutuhan dengan cepat, tepat, dan sesuai pemintaan.
 
Solusi yang dapat dilakukan oleh pustakawan dalam menghadapi digital natives:
  1. Mempelajari perilaku, cara belajar, dan kebutuhan digital native.
  2. Menyiapkan sarana pembelajaran berbasis digital di perpustakaan.
  3. Menyiapkan sumber daya informasi dalam bentuk digital (e-book, e-journal, e-artikel, e-berita, dan lain-lain) termasuk new media (dengan ciri: digital, interaktif, hypertextual, virtual, berjaringan, dan tersimulasi (simulated))
  4. Membantu pendidik untuk menyiapkan “bahan” dalam menyesuaikan kurikulum yang berbasis teknologi informasi
  5. Memberikan pengetahuan literasi modern (bukan hanya mempersoalkan bahasa dan tulisan tetapi lebih mengarah kepada gerak-gerik, ujaran, image, objek 3-D, warna musik, etika, dan sebagainya.
  6. Penguasaan pustakawan terhadap perkembangan informasi, komputer, dan telekomunikasi.
  7. Menguasai etika layanan dan penguatan SDP (Sumber Daya Perpustakaan)
  8. Menerapkan konsep-konsep pengembangan perpustakaan berbasis digital natives.
  9. Memiliki kemampuan dalam pengorganisasian dan pengawasan semua jenis dokumen.
  10. Memiliki sifat-sifat mulia, mampu bekerja sama dengan komponen terkait misalnya pendidik, para ahli teknologi, serta memiliki keterampilan sosial.
 Dengan adanya digital native, pustakawan seharusnya lebih memiliki keterampilan-keterampilan yang dapat mengembangkan dan merealisasikan keberhasilan digital natives tersebut. Kemampuan membimbing, mengarahkan, dan memberi petunjuk merupakan kemampuan pustakawan yang dicari oleh generasi digital native. Pustakawan perlu berpikir dan bertindak positif pada generasi digital natives, dan tetap mampu mengembangkan diri secara terus menerus dengan cara terus belajar, terus berkarya,  terus memberikan layanan yang berkualitas, dan terus mencari terobosan-terobosan yang mengarah kepada terciptanya generasi digital natives yang mengerti etika pemanfaatan informasi.

Di samping itu, pustakawan dapat menjadikan perpustakaan sebagai sarana pembelajaran yang mendukung terciptanya proses pembelajaran dengan konsep:
  1. Learning is about changes in conception. (Pembelajaran adalah persoalan perubahan dalam konsepsi).
  2. Learning always has a content as well as a process. (Setiap pembelajaran selalu mengandung isi dan proses).
  3. Improving learning is about relations. (Keberhasilan pembelajaran selalu ditentukan oleh relasi antara pembelajar dan hal yang dipelajarinya, bukan dengan metode pengajaran dan karakteristik peserta didik).
  4. Improving learning is about understanding the students’ perspective. (Setiap pembelajaran hendaknya memahami pula perspektif peserta didik).
  5. Improving learning is about skill personal. (Setiap pembelajaran akan menghasilkan keterampilan/kemampuan yang berpengaruh positif kepada setiap manusia).

Sumber bacaan:
Putu Laxman Pendit. Digital Native, Literasi Informasi dan Media Digital: Sisi Pandang Kepustakawanan.



Selasa, 03 Mei 2016

RAK KOLEKSI PERPUSTAKAAN



RAK KOLEKSI PERPUSTAKAAN

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Madya Unhas)


Tulisan ini untuk memberi pengetahuan kepada pustakawan dalam berkreasi dengan memanfaatkan rak koleksi perpustakaan untuk mencari kegiatan yang dapat menunjang keberhasilan dan perolehan angka kredit dengan mudah sehingga pemustaka (pengguna perpustakaan, yaitu perseorangan, kelompok orang, masyarakat, atau lembaga yang memanfaatkan fasilitas layanan perpustakaan) akan puas dengan layanan perpustakaan.

Rak koleksi perpustakaan yang dimaksud adalah rak tempat koleksi di perpustakaan. Rak ini biasanya berisi koleksi sesuai dengan susunan nomor klasifikasi. Klasifikasi merupakan penggolongan atau pengelompokan bahan pustaka di perpustakaan sesuai dengan jenis atau subjeknya, untuk membantu pemustaka dalam mencari, menemukan buku yang dicarinya dengan cepat, tepat, dan sesuai yang diinginkan.

Sistem klasifikasi yang paling banyak digunakan di perpustakaan adalah dengan menggunakan  sistem DDC (Dewey Decimal Classification). Secara umum klasifikasi ini untuk menentukan susunan koleksi yang ada di perpustakaan. Klasifikasi ini juga sebagai dasar untuk pengelompokan ilmu pengetahuan pada perpustakaan. Misalnya, 000 untuk karya-karya umum; 100 untuk filsafat, metafisika, psikologi, logika, etika; 200 untuk agama, theology; 300 untuk ilmu-ilmu sosial; 400 untuk bahasa; 500 untuk matematika dan ilmu-ilmu alam; 600 untuk ilmu-ilmu terapan, kedokteran, teknologi; 700 untuk seni, rekreasi, hiburan, olahraga; 800 untuk linguistik, sastra; dan 900 untuk geografi, biografi, sejarah.

Pustakawan dapat menjadikan rak sebagai sumber data untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat menunjang keberhasilan tugasnya dalam mencari atau untuk mendapatkan angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan setingkat lebih tinggi. Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya, pustakawan perlu melakukan kegiatan kepustakawanan agar dapat memenuhi angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan pustakawan. Misalnya, Pustakawan Ahli dengan pendidikan Sarjana untuk Pustakawan Pertama, Gol. III/a sebesar 100 AK (Angka kredit), III/b sebesar 150 AK, Untuk Pustakawan Muda, Gol. III/c sebesar 200 AK, III/d sebesar 300 AK, Untuk Pustakawan Madya, Gol. IV/a sebesar 400 AK, IV/b sebesar 550 AK, IV/c sebesar 700 AK, Untuk Pustakawan Utama, Gol. IV/d sebesar 850 AK, dan IV/e sebesar 1050 AK.

Pustakawan dengan rak koleksi yang ditugaskan kepadanya, akan dapat bermanfaat bagi pemustaka untuk meningkatkan pemanfaatan koleksi perpustakaan dan merealisasikan pelayanan pemustaka, termasuk memudahkan pemustaka dalam hal penemuan kembali koleksi dan untuk menjaga keteraturan, serta kerapian koleksi dalam Perpustakaan demi terealisasinya peran, fungsi, dan tujuan perpustakaan. Dengan rak koleksi perpustakaan tersebut, setiap jenjang jabatan dapat melakukan:
1.  Pustakawan Pertama, dapat melakukan pekerjaan kepustakawanan lainnya dengan sumber data pada raknya masing-masing misalnya, Mengidentifikasi koleksi perpustakaan untuk penyiangan, Membuat anotasi koleksi perpustakaan berbahasa daerah, Membuat anotasi koleksi perpustakaan berbahasa asing, dan lain-lain.
2.  Pustakawan Muda, dapat melakukan pekerjaan kepustakawanan lainnya dengan sumber data pada raknya masing-masing misalnya, Melakukan survei kebutuhan informasi Pemustaka, Melakukan seleksi koleksi perpustakaan, Mengevaluasi koleksi perpustakaan untuk penyiangan, Melakukan pelestarian fisik Koleksi Perpustakaan, dan lain-lain.
3.  Pustakawan Madya, dapat melakukan pekerjaan kepustakawanan lainnya dengan sumber data pada raknya masing-masing misalnya, Mengelola koleksi perpustakaan hasil penyiangan, Membuat panduan pustaka (pathfinder), Membuat tajuk kendali subjek, Membuat abstrak informatif koleksi perpustakaan berbahasa asing, dan lain-lain.
4.   Pustakawan Utama, dapat melakukan pekerjaan kepustakawanan lainnya dengan sumber data pada raknya masing-masing misalnya, melakukan pengkajian kepustakawanan bersifat kompleks (strategis nasional), membangun jejaring perpustakaan tingkat nasional, menelaah sistem kepustakawanan, dan lain-lain.

Keberhasilan perpustakaan hanya akan terealisasi jika pustakawan menguasai bidang tugasnya (profesional), memiliki kreativitas, memiliki pengetahuan manajemen, dan kreatif dalam melaksanakan tugas kepustakawanan yang diamanahkan kepadanya. Keberhasilan pustakawan dalam melaksanakan tugas kepustakawan tentunya akan dihargai dengan kenaikan jabatan pustakawan dan/atau kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi. Keberhasilan pustakawan memperoleh angka kredit untuk kenaikan pangkat/jabatan setingkat lebih tinggi dalam waktu yang cepat merupakan ciri pustakawan yang kreatif dan berprestasi, yang dicari oleh pemustaka.


Sumber Bacaan:
Republik Indonesia. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 9 Tahun 2014.




CARA PENYUSUNAN LITERATUR SEKUNDER



CARA PENYUSUNAN LITERATUR SEKUNDER

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Madya Unhas)

Tulisan ini untuk memberi pengetahuan dasar tentang cara penyusunan literatur sekunder. Literatur sekunder adalah bentuk informasi yang merupakan petunjuk, ringkasan, evaluasi, maupun kritikan terhadap literatur primer misalnya, ensiklopedia, buku panduan, bibliografi, indeks, abstrak, online service, sumber biografi, almanak, buku tahunan, katalog penerbit, accession list dan lain-lain. Literatur primer adalah publikasi atau literatur yang merupakan hasil karya atau pemikiran asli dan baru (original tinking) seperti hasil penelitian, artikel, dan buku teks.

Tujuan penyusunan literatur sekunder adalah:
  1. Memberi informasi lebih cepat kepada para pemustaka
  2. Menginformasikan koleksi yang dimiliki suatu perpustakaan
  3. Mempromosikan koleksi perpustakaan
  4. Membantu pemustaka dalam penelusuran informasi
  5. Memberi keterampilan dan pengetahuan untuk penemuan informasi secara cepat
  6. Memungkinkan terjadinya kerja sama antar perpustakaan.
 Manfaat literatur Sekunder adalah:
  1. Memudahkan pencarian informasi terutama penemuan literatur sekunder
  2. Menghemat waktu dalam penelusuran
  3. Mempermudah dan mempercepat penyebaran informasi
  4. Meningkatkan jaringan kerja sama antar perpustakaan
  5. Meningkatkan pemanfaatan perpustakaan
  6. Memberi pengetahuan terhadap perbendaharaan kata yang dimiliki, pengetahuan baru tentang masalah tertentu, mengetahui seluk-beluk suatu negara, tokoh, dan menunjang proses penelitian.
 Cara penyusunan literature sekunder:
  1. Menentukan jenis literatur sekunder yang akan disusun. Hal ini perlu dilakukan mengingat koleksi untuk literatur sekunder sangat banyak seperti disebutkan di atas. Pustakawan dapat membuat literatur sekunder sesuai dengan jenisnya. Misalnya, untuk menguraikan bidang pengetahuan tertentu, terbitan tertentu, rincian bibliografi dan keberadaan buku maka dapat dibuatkan literatur sekunder berupa abstrak, indeks. Untuk menguraikan tentang data atau peristiwa maka dapat dibuatkan literatur sekunder berupa almanak. Untuk memberi pengetahuan tentang lembaga atau organisasi maka dapat dibuatkan literatur sekunder berupa direktori atau almanak, begitu seterusnya.
  2. Menentukan cakupan isi. Cakupan ini bisa dilakukan dengan mencakup bidang ilmu, subyek atau sesuai dengan tema/disiplin ilmu pemustaka
  3. Mengumpulkan data. Mengumpulkan data untuk penyusunan literatur sekunder dapat dilakukan dengan mengidentifikasi bahan yang sesuai dengan cakupan isi agar litertur sekunder yang dibuat dapat bermanfaat untuk pemustaka.
  4. Menentukan susunan literatur sekunder baik dalam bentuk alfabetis pengarang, judul, maupun subjek. Pustakawan sebagai pembuat literatur sekunder dapat menyusunnya dalam bentuk alfabetis sesuai keinginan. Perlu diperhatikan bahwa penyusunan literatur sekunder untuk memudahkan pemustaka dalam memanfaatkan literatur sekunder sesuai tujuan dan manfaat di atas.
  5. Pemrosesan. Pemrosesan dalam literatur sekunder dapat dilakukan dengan berbagai tahapan misalnya, pengumpulan bahan, pembuatan formulir untuk isian sebagai sumber data, penginputan, penyuntingan atau pengeditan, dan mencetak.
 Literatur sekunder dapat dijadikan sebagai terbitan untuk memberikan arahan informasi yang telah terseleksi dan merangkum pengertian-pengertian terkait dalam susunan yang sistematis sehingga pemustaka dapat memanfaatkan literatur ini sebagai sarana untuk memudahkan dan mempercepat penemuan informasi.

Pustakawan dapat berkreasi untuk melakukan pembuatan literatur sekunder ini sebagai sarana untuk membantu pemustaka dalam hal penemuan informasi baik tentang peristiwa, kasus, kejadian, maupun penemuan baru yang disajikan dalam publikasi berbentuk literatur sekunder, untuk mendapatkan penyajikan informasi dari berbagai bidang atau suatu bidang dalam satu kesatuan media yang disusun alfabetis, membantu pemustaka untuk menghemat tenaga, pemikiran, termasuk biaya dalam penemuan informasi menyangkut keilmuannya, dan untuk mengetahui relevansi dan kualitas informasi sesuai dengan keinginan pemustaka.