Senin, 30 April 2018

ASPEK KOGNITIF DAN ASPEK AFEKSI DALAM PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN



ASPEK KOGNITIF DAN ASPEK AFEKSI DALAM PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN

Oleh :
Iskandar
(Pustakawan Ahli Madya Unhas)

Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang aspek kognitif dan aspek afeksi dalam pemanfaatan perpustakaan. Tujuannya adalah agar pemustaka dapat memanfaatkan perpustakaan sesuai dengan tujuan didirikannya perpustakaan.

Perpustakaan pada intinya didirikan untuk dimanfaatkan oleh pemustaka dengan sebaik-baiknya. Banyak manfaat yang dapat diperoleh pemustaka ketika memanfaatkan perpustakaan dengan baik dan benar diantaranya:
  1. Pemustaka mendapatkan layanan perpustakaan yang prima/berkualitas karena tujuan perpustakaan adalah memberikan layanan perpustakaan termasuk informasi lengkap dengan rujukan yang sesuai.
  2. Memperluas wawasan dan pengetahuan pemustaka yang mengarah kepada kecerdasan bangsa sesuai tujuan pendidikan nasional.
  3. Meningkatkan kegemaran membaca karena perpustakaan senantiasa menyiapkan koleksi yang sesuai dengan perkembangan zaman termasuk sesuai dengan kebutuhan pemustaka.
  4. Fungsi perpustakaan dapat dimanfaatkan pemustaka, antara lain perpustakaan sebagai wahana pendidikan, informasi, penelitian (riset), kultural, pelestarian, dan rekreasi bernuasa edukatif.
  5. Tugas perpustakaan mampu diserap pemustaka, antara lain mengumpulkan/mengadakan informasi, menyediakan dan mengolah informasi agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan pemustaka, menyebarkan informasi agar semua pemustaka mengetahuinya, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan memajukan kebudayaan nasional melalui koleksi (karya tulis, karya cetak, dan karya rekam) yang dimilikinya.
Pemanfaatan perpustakaan sama dengan melakukan proses pembelajaran secara mandiri yang memerlukan otak untuk berpikir dan juga memerlukan keterlibatan hati untuk memahami kemajuan danm perkembangan ilmu pengetahuan sesuai minat atau profesi masing-masing. Untuk itulah, aspek kognitif (otak) dan aspek afeksi (hati) perlu dipadukan untuk memanfaatkan perpustakaan.

Di perpustakaan, berpikir menggunakan otak memiliki sasaran oleh Bloom dengan pengelompokan aspek kognitif dalam Jogiyanto HM (2006) sebagai berikut:
  1. Pengetahuan (knowledge), yaitu mengidentifikasi, mengambil, mengumpulkan fakta dan informasi.
  2. Pemahaman (comprehension), yaitu memiliki dan menggunakan fakta-fakta atau ide-ide untuk memamahami, menginterpretasikan atau membandingkan
  3. Aplikasi (application), yaitu menggunakan fakta-fakta, informasi, pengetahuan, aturan-aturan, teori-teori, atau prinsip-prinsip di situasi-situasi tertentu.
  4. Analisis (analysis), yaitu memisahkan yang utuh ke dalam bagian-bagian untuk melihat hubungan-hubungannya dan menemukan struktur dari idea tau konsep, mengidentifikasi bagian-bagian, hubungan-hubungan dan prinsip-prinsip.
  5. Sintesis (synthesis), yaitu menggabungkan bagian-bagian atau fakta-fakta untuk membangun ide yang baru dan kreatif, menciptakan sesuatu yang baru, solusi, dan mengusulkan tindakan-tindakan.
  6. Evaluasi (evaluation), yaitu mengembangkan opini-opini atau membuat keputusan-keputusan pada materi-materi informasi, atau permasalahan-permasalahan situasional yang didasarkan pada nilai, logika, dan kegunaannya.
 Aspek afeksi erat kaitannya dengan merasakan fungsi hati. Idealnya, semua unsur yang terkait dengan perpustakaan (pustakawan, tenaga administrasi yang ada di perpustakaan, pimpinan, lembaga induk) perlu menggunakan fungsi afeksi ini secara baik agar perpustakaan dapat berjalan dengan baik. Pustakawan melayani dengan hati, tenaga administrasi memberikan kelengkapan administrasi juga melayani dengan hati, kepala perpustakaan memimpin dengan hati, dan lembaga induk mengeluarkan peraturan dan kebijakan dengan hati sehingga tidak merugikan dan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan terkait perpustakaan.

Perpustakaan yang memiliki kewenangan untuk merealisasikan perpaduan aspek kognitif dan aspek afeksi ini untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. Kecerdasan yang dimaksud tentu dibarengi dengan etika atau moral sehingga terwujudnya kecerdasan bangsa yang berkarakter (bermoral).

Pustakawan profesional mempunyai afeksi yang positif dengan hati yang tulus, ikhlas, tanggung jawab, komitmen, hangat, empati, berkarakter, senang membantu, aspiratif, penuh cinta sehingga suasana perpustakaan menjadi tempat yang nyaman dan bermakna bagi pemustaka.

Untuk itu, aspek kognitif dan aspek afeksi dalam pemanfatan perpustakan perlu direalisasikan. Aspek kognitif melambangkan keberhasilan pemustaka mendapatkan hal-hal positif di perpustakaan melalui proses berpikirnya yang kritis dan aspek afektif menggunakan fungsi hati untuk memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik sehingga menjadi pemustaka (user) yang cerdas dan bermoral.


Sumber bacaan:
Jogiyanto HM. Filosofi, Pendekatan, dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus: Untuk Dosen dan Mahasiswa. Yogyakarta: Andi Offset (Penerbit Andi), 2006.



HAKIKAT SOSIAL DARI PERPUSTAKAAN



HAKIKAT SOSIAL DARI PERPUSTAKAAN

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Ahli Madya Unhas)

Tulisan ini untuk memberi gambaran singkat tentang hakikat sosial dari perpustakaan.

Perpustakaan erat kaitannya dengan pembelajaran sepanjang hayat. Konsep pembelajaran sepanjang hayat, sebenarnya sudah sejak lama dipikirkan dari zaman ke zaman. Konsep tersebut menjadi aktual kembali terutama dengan terbitnya buku An Introduction to Life long Education, pada tahun 1970 karya Paul Lengrand, yang dikembangkan lebih lanjut oleh UNESCO.

Terkait dengan pembelajaran sepanjang hayat ini maka pustakawan memiliki tugas utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan bekerja secara maksimal mengembangkan dan mendayagunakan perpustakaan sebagai sarana yang berisi informasi yang mendukung keberhasilan pendidikan baik secara manual, maupun dengan teknologi modern sehingga pemustaka (user) dapat menguasai, memahami, dan mampu menerapkan sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan dengan sebaik-baiknya yang ditandai dengan perubahan perilaku, tingkah laku, pengambilan keputusan, dan kebijakan yang lebih baik.

Seiring berjalannya waktu, perpustakaan kemudian didefinisikan dengan berbagai pandangan dan teori yang beragam.
  1. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karyatulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
  2. Perpustakaan adalah  suatu tempat, berupa sebuah ruangan atau gedung, yang berisi buku-buku dan bahan lain untuk pembacaan, studi atau referensi.
  3. Perpustakaan adalah sumber belajar
  4. Perpustakaan sarana pembelajaran sepanjang hayat
  5. Perpustakaan sebagai pelestari peradaban dan budaya
  6. dan sebagainya
 Definisi di atas menunjukkan pandangan tentang perpustakaan dengan latar belakang pemikiran masing-masing. Jika pemikiran tentang perpustakaan seperti di atas maka perlu diupayakan agar hakikat perpustakaan tetap memiliki fungsi yang sama dan sesuai dengan amanat Undang-Undang RI Tahun 1945 sebagaimana yang dituangkan dalam “pertimbangan awal” ketika UU RI No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan mulai dicetuskan:
  1. bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional
  2. bahwa sebagai salah satu upaya untuk memajukan kebudayaan nasional, perpustakaan merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa;
  3. bahwa dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, perlu ditumbuhkan budaya gemar membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi yang berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam
 Hal yang terpenting, apapun pemikiran dan definisi tentang perpustakaan, fungsi perpustakaan tetap harus berjalan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perpustakaan yaitu sebagai:
1.    Wahana belajar sepanjang hayat, mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional,
2.    Wahana penelitian,
3.    Wahana informasi,
4.    Wahana rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa,
5.    Wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa

Untuk itu, pustakawan profesional harus dapat menjadikan perpustakaan terpenuhi fungsinya sebagaimana yang diatur dalam UU RI No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Banyak cara yang dapat dilakukan pustakawan diantaranya:
  1. Pustakawan dapat melakukan asimilasi dari tradisi-tradisi pengelolaan perpustakaan. Asimilasi dapat dijadikan hal yang utama untuk merealisasikan fungsi perpustakaan termasuk tekanan sosial.
  2. Mengembangkan pola-pola yang dapat memenuhi unsur kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan temasuk memecahkan masalah-masalah sosial yang memerlukan pemecahan seperti masalah tenaga kerja (SDM), masalah kemerosotan moral, masalah literasi, masalah informasi palsu, dan masalah-masalah lainnya terkait kecerdasan bangsa.
  3. Munculkan kreativitas untuk menyukseskan peran, fungsi, dan tujuan perpustakaan.
  4. Bekerja sama dengan profesi lain, saling menghargai, dan tetap melaksanakan tugas masing-masing sesuai aturan yang berlaku. Aturan yang berlaku itu misalnya UU RI Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, PermenpanRB No. 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya, dan Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya
  5. Pustakawan harus dapat menjamin fungsi perpustakaan dipahami oleh pelaku pendidikan.
  6. Pustakawan memerlukan dukungan moral dan regulasi dari pemerintah yang tidak bertentangan dengan UU RI No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.
 Hakikat sosial dari perpustakaan pada intinya adalah dengan memanfaatkan perpustakaan akan membantu pemustaka untuk menjadi lebih baik dalam mengerjakan sesuatu, perubahan tingkah laku kearah yang positif, tercapai tujuan yang mulia, mampu memcahkan permasalahan masyarakat, dan memunculkan kreativitas pemustaka.

Sumber bacaan:
Perpustakaan Nasional RI, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2008