HAKIKAT SOSIAL
DARI PERPUSTAKAAN
Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Ahli Madya Unhas)
Tulisan
ini untuk memberi gambaran singkat tentang hakikat sosial dari perpustakaan.
Perpustakaan erat kaitannya dengan pembelajaran
sepanjang hayat. Konsep pembelajaran sepanjang hayat, sebenarnya sudah sejak
lama dipikirkan dari zaman ke zaman. Konsep tersebut menjadi aktual kembali
terutama dengan terbitnya buku An Introduction to Life long Education,
pada tahun 1970 karya Paul Lengrand, yang dikembangkan lebih lanjut oleh
UNESCO.
Terkait dengan pembelajaran sepanjang
hayat ini maka pustakawan memiliki tugas
utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan bekerja secara maksimal
mengembangkan dan mendayagunakan perpustakaan sebagai sarana yang berisi
informasi yang mendukung keberhasilan pendidikan baik secara manual, maupun
dengan teknologi modern sehingga pemustaka (user)
dapat menguasai, memahami, dan mampu menerapkan sumber informasi, ilmu
pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan dengan sebaik-baiknya yang
ditandai dengan perubahan perilaku, tingkah laku, pengambilan keputusan, dan
kebijakan yang lebih baik.
Seiring
berjalannya waktu, perpustakaan kemudian didefinisikan dengan berbagai
pandangan dan teori yang beragam.
- Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karyatulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
- Perpustakaan adalah suatu tempat, berupa sebuah ruangan atau gedung, yang berisi buku-buku dan bahan lain untuk pembacaan, studi atau referensi.
- Perpustakaan adalah sumber belajar
- Perpustakaan sarana pembelajaran sepanjang hayat
- Perpustakaan sebagai pelestari peradaban dan budaya
- dan sebagainya
Definisi
di atas menunjukkan pandangan tentang perpustakaan dengan latar belakang pemikiran
masing-masing. Jika pemikiran tentang perpustakaan seperti di atas maka perlu
diupayakan agar hakikat perpustakaan tetap memiliki fungsi yang sama dan sesuai
dengan amanat Undang-Undang RI Tahun 1945 sebagaimana yang dituangkan dalam
“pertimbangan awal” ketika UU RI No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan mulai
dicetuskan:
- bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional
- bahwa sebagai salah satu upaya untuk memajukan kebudayaan nasional, perpustakaan merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa;
- bahwa dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, perlu ditumbuhkan budaya gemar membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi yang berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam
Hal yang terpenting, apapun pemikiran dan
definisi tentang perpustakaan, fungsi perpustakaan tetap harus berjalan
sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perpustakaan yaitu sebagai:
1.
Wahana
belajar sepanjang hayat, mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional,
2.
Wahana
penelitian,
3.
Wahana
informasi,
4.
Wahana
rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa,
5.
Wahana
pelestarian kekayaan budaya bangsa
Untuk
itu, pustakawan profesional harus dapat menjadikan perpustakaan terpenuhi
fungsinya sebagaimana yang diatur dalam UU RI No. 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan. Banyak cara yang dapat dilakukan pustakawan diantaranya:
- Pustakawan dapat melakukan asimilasi dari tradisi-tradisi pengelolaan perpustakaan. Asimilasi dapat dijadikan hal yang utama untuk merealisasikan fungsi perpustakaan termasuk tekanan sosial.
- Mengembangkan pola-pola yang dapat memenuhi unsur kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan temasuk memecahkan masalah-masalah sosial yang memerlukan pemecahan seperti masalah tenaga kerja (SDM), masalah kemerosotan moral, masalah literasi, masalah informasi palsu, dan masalah-masalah lainnya terkait kecerdasan bangsa.
- Munculkan kreativitas untuk menyukseskan peran, fungsi, dan tujuan perpustakaan.
- Bekerja sama dengan profesi lain, saling menghargai, dan tetap melaksanakan tugas masing-masing sesuai aturan yang berlaku. Aturan yang berlaku itu misalnya UU RI Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, PermenpanRB No. 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya, dan Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya
- Pustakawan harus dapat menjamin fungsi perpustakaan dipahami oleh pelaku pendidikan.
- Pustakawan memerlukan dukungan moral dan regulasi dari pemerintah yang tidak bertentangan dengan UU RI No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.
Hakikat sosial dari perpustakaan pada
intinya adalah dengan memanfaatkan perpustakaan akan membantu pemustaka untuk
menjadi lebih baik dalam mengerjakan sesuatu, perubahan tingkah laku kearah
yang positif, tercapai tujuan yang mulia, mampu memcahkan permasalahan
masyarakat, dan memunculkan kreativitas pemustaka.
Sumber bacaan:
Perpustakaan Nasional RI, Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan
Nasional RI, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar