Senin, 31 Desember 2018

SUMBER-SUMBER INFORMASI DI PERPUSTAKAAN UNTUK RUJUKAN PENELITIAN



SUMBER-SUMBER INFORMASI DI PERPUSTAKAAN UNTUK RUJUKAN PENELITIAN

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Ahli Madya Unhas)

Tulisan singkat ini mencoba memberi gambaran tentang sumber-sumber informasi yang ada di perpustakaan yang dapat dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan penelitian. 

Untuk penelitian yang “ideal” tentunya memerlukan sumber rujukan yang relevan. Sumber rujukan tersebut semuanya telah tersedia di perpustakaan. Peneliti atau pemustakalah yang perlu mengenal koleksi perpustakaan dengan baik, sedang tugas pustakawan adalah menyiapkan literatur atau koleksi yang dibutuhkan oleh peneliti atau pemustaka, mengolah, dan mempromosikan ke pemustaka terkait ketersediaan koleksi yang dimiliki oleh perpustakaannya.

Manfaat ketika pemustaka mengenal koleksi perpustakaan, jika ingin meneliti adalah:
  1.  Ketika dibutuhkan dapat segera diketahui posisi koleksi tersebut. Koleksi perpustakaan ditempatkan pada rak sesuai dengan kreatifitas pustakawan berdasarkan jenis perpustakaan. Jenis perpustakaan itu meliputi, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Umum, Perpustakaan Sekolah/Madrasah, Perpustakaan Perguruan Tinggi, dan Perpustakaan Khusus. Secara umum, letak koleksi dikelompokkan berdasakan jenis koleksi. Jenis koleksi yang dimaksud misalnya, koleksi umum, koleksi referensi, koleksi majalah, koleksi surat kabar, koleksi karya ilmiah, koleksi digital, dan lain-lain.
  2. Mempermudah temu balik koleksi. Koleksi yang dibutuhkan dapat ditemukan keberadaannya dengan mudah, diketahui identitas koleksinya sehingga dapat menghemat tenaga, waktu, dalam temu baliknya.
  3. Penelitian dapat dilakukan sesuai jadwal. Peneliti yang telah mengetahui keberadaan koleksi yang menjadi sumber rujukan dalam meneliti maka akan sangat membantu dalam keberhasilan penelitian. Penelitian menjadi lebih fokus dan memiliki arah yang sesuai dengan permasalahan penelitian khususnya terkait dengan tinjauan teoritis atau tinjauan pustaka sehingga dapat memenuhi target waktu.
  4. Penelitian menjadi kaya akan literatur. Penelitian yang baik tentunya kaya akan literatur. Biasanya literatur yang menjadi rujukan akan dicantumkan pada daftar pustaka.
  5. Menghindari kesamaan judul atau ide penelitian.Biasanya peneliti yang jarang ke perpustakaan akan mengakibatkan karya penelitiannya memiliki kesamaan judul sehingga dekat dengan plagiat.
 Perpustakaan memiliki tujuan utama sebagai sarana untuk penelitian. Sarana penelitian ini tentunya lebih mengarah kepada ketersediaan literatur, ide, tempat, atau pembanding antara penelitian yang sedang dilakukan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh orang lain. Untuk itu, koleksi-koleksi yang perlu diketahui posisinya di perpustakaan yang dapat dijadikan sumber informasi untuk penelitian yaitu:
  1. Buku teks. Koleksi dalam bentuk buku teks adalah sumber rujukan yang paling banyak dijadikan rujukan dalam penelitian. Di perpustakaan koleksi buku biasanya ditempatkan sebagai koleksi umum yang dapat dipinjam baik untuk dibaca di tempat maupun untuk dibawa pulang.
  2. Buku terjemahan atau koleksi terjemahan. Koleksi terjemahan sering juga dicari oleh peneliti untuk dijadikan rujukan dalam meneliti. Letak koleksi terjemahan biasanya di tempatkan pada koleksi umum dan beberapa jenis di tempatkan pada koleksi referensi.
  3. Kumpulan karya tulis yang dijadikan buku. Koleksi ini berupa karya tulis yang merupakan salah satu sumber informasi yang dapat dijadikan rujukan dalam penulisan atau literatur untuk penelitian. Koleksi ini biasanya disimpan di koleksi umum.
  4. Artikel dalam jurnal dan majalah. Koleksi ini dapat menjadi rujukan dalam penelitian. Koleksi ini biasanya disimpan sebagai koleksi terbitan berkala.
  5. Koleksi ensiklopedia, kamus, handbook, direktori, book review, dan sebagainya, biasanya ditempatkan di ruang koleksi referensi
  6. Surat kabar biasanya ditempatkan di ruang koleksi surat kabar atau ruang koleksi berkala
  7. Literatur kelabu (grey literature) yang biasanya terdiri dari skripsi, tesis, disertasi, Laporan penelitian, laporan kegiatan, laporan kerja, dan laporan lainnya, makalah seminar, simposium, konferensi, dan sejenisnya biasanya ditempatkan pada ruang karya ilmiah dan biasanya telah disiapkan koleksi digitalnya dengan nama koleksi repository.
  8. Perundang-undangan dan dokumen pemerintah, serta dokumen badan-badan internasional. Biasanya koleksi ini ditempatkan pada bagian koleksi referensi. Ada beberapa perpustakaan telah menyiapkan koleksi tersebut dalam suatu ruangan khusus.
  9. Dokumen elektronik. Dokumen elektronik ini bervariasi sesuai dengan kesiapan dan kemampuan perpustakaan. dokumen ini misalnya buku elektronik dan sejenisnya yang disimpan pada CD, DVD. Dokumen ini oleh perpustakaan biasanya disimpan pada bagian koleksi digital atau bagian dokumen elektronik.
  10. Koleksi sumber online atau internet. Koleksi sumber online atau internet yang disiapkan oleh perpustakaan biasanya dalam bentuk jurnal online yang dilanggan oleh perpustakaan misalnya ebsco, gale, proquest dan lain-lain. Untuk mengakses jurnal online yang dilanggan tersebut biasanya "ditangani" di ruang e-jurnal atau koleksi digital, dan dapat diakses di mana saja jika telah mendapatkan user id dan password dari pihak perpustakaan.
Ketersediaan sumber-sumber informasi di perpustakaan yang dapat dijadikan rujukan untuk melakukan penelitian perlu diketahui, dikenal, dan dimanfaatkan dengan baik oleh peneliti atau pemustaka. Sumber-sumber informasi tersebut merupakan rujukan yang disimpan, diolah, dan disebarkan kepada pemustaka sehingga pemustaka mengetahui dan dapat memanfaatkannya untuk keperluan penelitian. Bukankah salah satu fungsi perpustakaan adalah sebagai wahana penelitian yang menyediakan seluruh sumber informasi sehingga dapat digunakan pemustaka untuk melakukan penelitian?





Jumat, 21 September 2018

UMPAN BALIK (feed back) DALAM PERPUSTAKAAN



UMPAN BALIK (feed back) DALAM PERPUSTAKAAN

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Ahli Madya Unhas)

Tulisan singkat ini mencoba memberi gambaran tentang pentingnya umpan balik (feed back) di perpustakaan. Pustakawan membutuhkan umpan balik dari pemustaka. Pimpinan perpustakaan membutuhkan umpan balik dari anggota yang dipimpinnya. Demikian seterusnya sehingga umpan balik ini mampu memperbaiki “sesuatu” sehingga lebih bermakna dan bermanfaat dengan prinsip umpan balik dapat “menolong” jika dilakukan dengan baik.

Umpan balik yang terjadi dalam perpustakaan terjadi karena adanya proses komunikasi sehingga tercipta hubungan sosial (social contact). Bagaimana pustakawan memiliki keterampilan dalam berkomunikasi ketika melayani pemustaka sehingga pemustaka memberikan umpan balik yang bermanfaat untuk pelayanan yang lebih baik dan sesuai dengan kebutuhan pemustaka sehingga “tercipta” saling menguntungkan dan harmonisasi serta menekan “konflik”. Contoh umpan balik balik dari pemustaka yang perlu diketahui pustakawan misalnya, sikap yang timbul, pertanyaan, reaksi, laporan, tulisan, kritikan, peragaan, demonstrasi, usulan, ide, dan lain-lain.

Dengan adanya umpan balik di perpustakaan maka manfaat yang dapat diperoleh antara lain:
  1. Menghindari perbedaan pendapat termasuk salah kaprah
  2. Menekan situasi yang tidak menguntungkan sehingga terhindar konflik
  3. Terjadi saling pengertian, kesepakatan, kesamaan persepsi, dan saling memahami fungsi masing-masing
  4. Penguasaan pesan dan akurat dalam realisasinya
  5. Menghindari kerancuan informasi
  6. Penafsiran yang positif/baik terhadap informasi yang diberikan pustakawan
  7. Terjadi hubungan yang baik antar semua pihak dalam perpustakaan
  8. Kepuasan pemustaka terhadap kinerja perpustakaan.
 Ada syarat-syarat umpan balik yang perlu diketahui oleh pemustaka sebagaimana dikemukakan oleh Widjaja (2000) yaitu:
  1. Pemustaka yang melakukan umpan balik dalam perpustakaan hendaklah jujur. Umpan balik yang tidak jujur bersumber karena kebiasaan untuk menyenangkan orang lain, keinginan memberi nasehat, keinginan untuk menang dalam argumentasi, malah lebih buruk lagi apabila ada keinginan untuk mengambil muka, menjilat, dan menyakiti orang lain.
  2. Umpan balik hendaklah tentang sesuatu yang khusus dan jelas, bukan sesuatu secara umum dan kabur.
  3. Umpan balik hendaklah mengenai sesuatu di mana orang yang bersangkutan dapat berbuat apa-apa. Umpan balik tentang sesuatu di mana orang yang bersangkutan tidak dapat berbuat apa-apa adalah umpan balik yang tidak berguna dan malah bisa menimbulkan perasaan dongkol.
  4. Umpan balik hendaklah jangan bersifat penilaian. Penilaian yang dimaksud di sini adalah judgement bukan evaluasi. Judgement walaupun sering dihubungkan dengan skala tetapi dipusatkan pada values atau nilai, termasuk dalam kategori ini adalah penilaian seperti “baik dan buruk”, “benar dan salah” dan seterusnya. Kalau dilihat bahwa umpan balik yang bersifat penilaian yang jujur sekalipun masih dapat menimbulkan akibat yang buruk maka sebaiknya umpan balik seperti ini dihindarkan atau dinyatakan secara lain.
  5. Umpan balik hendaknya deskriptif sehingga betul-betul jelas. Dalam hal ini memerlukan gambaran apa yang dikehendaki jelas dan terang. Prinsip deskriptif itu mengajarkan pula bahwa umpan balik hendaknya mengungkapkan juga apa-apa yang baik di samping apa-apa yang perlu diperbaiki lagi. Dalam hal ini kita sering lupa selalu mengungkapkan yang buruk-buruk saja tanpa menyatakan yang baiknya sehingga jarang sekali melihat titik-titik terang dalam pengembangan seseorang.
  6. Umpan balik hendaknya bersifat hasil oriented dan bukan person oriented. Dalam hal ini maka yang diutamakan bukan orangnya, tetapi kerjanya.
  7. Umpan balik hendaklah memperhatikan timing, tidak ada patokan tentang waktu ini. Umpan balik hendaknya diberikan berdasarkan “perasaan seseorang” atau berdasarkan ukuran umum yang sadar atau tidak telah diterima bersama.
  8. Umpan balik hendaknya berprinsip membangun dan bermanfaat serta berguna.
 Di perpustakaan umpan balik (feed back) di perlukan untuk membuat perpustakaan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pemustaka sebagai sumber belajar sepanjang hayat. Pustakawan harus bijak dalam menangani setiap umpan balik yang diberikan oleh pemustaka, dan jika umpan balik itu mampu membuat perpustakaan lebih digemari atau lebih baik dalam memberikan layanan kepada pemustaka, maka ucapkanlah terima kasih sebagai suatu bentuk apresiasi kepada pemberi umpan balik tersebut.


Sumber bacaan:
Widjaja, H.A.W. Ilmu Komunikasi : Pengantar Studi. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.





Senin, 30 April 2018

ASPEK KOGNITIF DAN ASPEK AFEKSI DALAM PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN



ASPEK KOGNITIF DAN ASPEK AFEKSI DALAM PEMANFAATAN PERPUSTAKAAN

Oleh :
Iskandar
(Pustakawan Ahli Madya Unhas)

Tulisan ini mencoba memberi gambaran tentang aspek kognitif dan aspek afeksi dalam pemanfaatan perpustakaan. Tujuannya adalah agar pemustaka dapat memanfaatkan perpustakaan sesuai dengan tujuan didirikannya perpustakaan.

Perpustakaan pada intinya didirikan untuk dimanfaatkan oleh pemustaka dengan sebaik-baiknya. Banyak manfaat yang dapat diperoleh pemustaka ketika memanfaatkan perpustakaan dengan baik dan benar diantaranya:
  1. Pemustaka mendapatkan layanan perpustakaan yang prima/berkualitas karena tujuan perpustakaan adalah memberikan layanan perpustakaan termasuk informasi lengkap dengan rujukan yang sesuai.
  2. Memperluas wawasan dan pengetahuan pemustaka yang mengarah kepada kecerdasan bangsa sesuai tujuan pendidikan nasional.
  3. Meningkatkan kegemaran membaca karena perpustakaan senantiasa menyiapkan koleksi yang sesuai dengan perkembangan zaman termasuk sesuai dengan kebutuhan pemustaka.
  4. Fungsi perpustakaan dapat dimanfaatkan pemustaka, antara lain perpustakaan sebagai wahana pendidikan, informasi, penelitian (riset), kultural, pelestarian, dan rekreasi bernuasa edukatif.
  5. Tugas perpustakaan mampu diserap pemustaka, antara lain mengumpulkan/mengadakan informasi, menyediakan dan mengolah informasi agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhan pemustaka, menyebarkan informasi agar semua pemustaka mengetahuinya, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan memajukan kebudayaan nasional melalui koleksi (karya tulis, karya cetak, dan karya rekam) yang dimilikinya.
Pemanfaatan perpustakaan sama dengan melakukan proses pembelajaran secara mandiri yang memerlukan otak untuk berpikir dan juga memerlukan keterlibatan hati untuk memahami kemajuan danm perkembangan ilmu pengetahuan sesuai minat atau profesi masing-masing. Untuk itulah, aspek kognitif (otak) dan aspek afeksi (hati) perlu dipadukan untuk memanfaatkan perpustakaan.

Di perpustakaan, berpikir menggunakan otak memiliki sasaran oleh Bloom dengan pengelompokan aspek kognitif dalam Jogiyanto HM (2006) sebagai berikut:
  1. Pengetahuan (knowledge), yaitu mengidentifikasi, mengambil, mengumpulkan fakta dan informasi.
  2. Pemahaman (comprehension), yaitu memiliki dan menggunakan fakta-fakta atau ide-ide untuk memamahami, menginterpretasikan atau membandingkan
  3. Aplikasi (application), yaitu menggunakan fakta-fakta, informasi, pengetahuan, aturan-aturan, teori-teori, atau prinsip-prinsip di situasi-situasi tertentu.
  4. Analisis (analysis), yaitu memisahkan yang utuh ke dalam bagian-bagian untuk melihat hubungan-hubungannya dan menemukan struktur dari idea tau konsep, mengidentifikasi bagian-bagian, hubungan-hubungan dan prinsip-prinsip.
  5. Sintesis (synthesis), yaitu menggabungkan bagian-bagian atau fakta-fakta untuk membangun ide yang baru dan kreatif, menciptakan sesuatu yang baru, solusi, dan mengusulkan tindakan-tindakan.
  6. Evaluasi (evaluation), yaitu mengembangkan opini-opini atau membuat keputusan-keputusan pada materi-materi informasi, atau permasalahan-permasalahan situasional yang didasarkan pada nilai, logika, dan kegunaannya.
 Aspek afeksi erat kaitannya dengan merasakan fungsi hati. Idealnya, semua unsur yang terkait dengan perpustakaan (pustakawan, tenaga administrasi yang ada di perpustakaan, pimpinan, lembaga induk) perlu menggunakan fungsi afeksi ini secara baik agar perpustakaan dapat berjalan dengan baik. Pustakawan melayani dengan hati, tenaga administrasi memberikan kelengkapan administrasi juga melayani dengan hati, kepala perpustakaan memimpin dengan hati, dan lembaga induk mengeluarkan peraturan dan kebijakan dengan hati sehingga tidak merugikan dan tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan terkait perpustakaan.

Perpustakaan yang memiliki kewenangan untuk merealisasikan perpaduan aspek kognitif dan aspek afeksi ini untuk mencerdasakan kehidupan bangsa. Kecerdasan yang dimaksud tentu dibarengi dengan etika atau moral sehingga terwujudnya kecerdasan bangsa yang berkarakter (bermoral).

Pustakawan profesional mempunyai afeksi yang positif dengan hati yang tulus, ikhlas, tanggung jawab, komitmen, hangat, empati, berkarakter, senang membantu, aspiratif, penuh cinta sehingga suasana perpustakaan menjadi tempat yang nyaman dan bermakna bagi pemustaka.

Untuk itu, aspek kognitif dan aspek afeksi dalam pemanfatan perpustakan perlu direalisasikan. Aspek kognitif melambangkan keberhasilan pemustaka mendapatkan hal-hal positif di perpustakaan melalui proses berpikirnya yang kritis dan aspek afektif menggunakan fungsi hati untuk memilah mana yang baik dan mana yang tidak baik sehingga menjadi pemustaka (user) yang cerdas dan bermoral.


Sumber bacaan:
Jogiyanto HM. Filosofi, Pendekatan, dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus: Untuk Dosen dan Mahasiswa. Yogyakarta: Andi Offset (Penerbit Andi), 2006.



HAKIKAT SOSIAL DARI PERPUSTAKAAN



HAKIKAT SOSIAL DARI PERPUSTAKAAN

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Ahli Madya Unhas)

Tulisan ini untuk memberi gambaran singkat tentang hakikat sosial dari perpustakaan.

Perpustakaan erat kaitannya dengan pembelajaran sepanjang hayat. Konsep pembelajaran sepanjang hayat, sebenarnya sudah sejak lama dipikirkan dari zaman ke zaman. Konsep tersebut menjadi aktual kembali terutama dengan terbitnya buku An Introduction to Life long Education, pada tahun 1970 karya Paul Lengrand, yang dikembangkan lebih lanjut oleh UNESCO.

Terkait dengan pembelajaran sepanjang hayat ini maka pustakawan memiliki tugas utama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan bekerja secara maksimal mengembangkan dan mendayagunakan perpustakaan sebagai sarana yang berisi informasi yang mendukung keberhasilan pendidikan baik secara manual, maupun dengan teknologi modern sehingga pemustaka (user) dapat menguasai, memahami, dan mampu menerapkan sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan dengan sebaik-baiknya yang ditandai dengan perubahan perilaku, tingkah laku, pengambilan keputusan, dan kebijakan yang lebih baik.

Seiring berjalannya waktu, perpustakaan kemudian didefinisikan dengan berbagai pandangan dan teori yang beragam.
  1. Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karyatulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka.
  2. Perpustakaan adalah  suatu tempat, berupa sebuah ruangan atau gedung, yang berisi buku-buku dan bahan lain untuk pembacaan, studi atau referensi.
  3. Perpustakaan adalah sumber belajar
  4. Perpustakaan sarana pembelajaran sepanjang hayat
  5. Perpustakaan sebagai pelestari peradaban dan budaya
  6. dan sebagainya
 Definisi di atas menunjukkan pandangan tentang perpustakaan dengan latar belakang pemikiran masing-masing. Jika pemikiran tentang perpustakaan seperti di atas maka perlu diupayakan agar hakikat perpustakaan tetap memiliki fungsi yang sama dan sesuai dengan amanat Undang-Undang RI Tahun 1945 sebagaimana yang dituangkan dalam “pertimbangan awal” ketika UU RI No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan mulai dicetuskan:
  1. bahwa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perpustakaan sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional
  2. bahwa sebagai salah satu upaya untuk memajukan kebudayaan nasional, perpustakaan merupakan wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa;
  3. bahwa dalam rangka meningkatkan kecerdasan kehidupan bangsa, perlu ditumbuhkan budaya gemar membaca melalui pengembangan dan pendayagunaan perpustakaan sebagai sumber informasi yang berupa karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam
 Hal yang terpenting, apapun pemikiran dan definisi tentang perpustakaan, fungsi perpustakaan tetap harus berjalan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perpustakaan yaitu sebagai:
1.    Wahana belajar sepanjang hayat, mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan nasional,
2.    Wahana penelitian,
3.    Wahana informasi,
4.    Wahana rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa,
5.    Wahana pelestarian kekayaan budaya bangsa

Untuk itu, pustakawan profesional harus dapat menjadikan perpustakaan terpenuhi fungsinya sebagaimana yang diatur dalam UU RI No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Banyak cara yang dapat dilakukan pustakawan diantaranya:
  1. Pustakawan dapat melakukan asimilasi dari tradisi-tradisi pengelolaan perpustakaan. Asimilasi dapat dijadikan hal yang utama untuk merealisasikan fungsi perpustakaan termasuk tekanan sosial.
  2. Mengembangkan pola-pola yang dapat memenuhi unsur kepuasan pemustaka terhadap layanan perpustakaan temasuk memecahkan masalah-masalah sosial yang memerlukan pemecahan seperti masalah tenaga kerja (SDM), masalah kemerosotan moral, masalah literasi, masalah informasi palsu, dan masalah-masalah lainnya terkait kecerdasan bangsa.
  3. Munculkan kreativitas untuk menyukseskan peran, fungsi, dan tujuan perpustakaan.
  4. Bekerja sama dengan profesi lain, saling menghargai, dan tetap melaksanakan tugas masing-masing sesuai aturan yang berlaku. Aturan yang berlaku itu misalnya UU RI Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, PermenpanRB No. 9 Tahun 2014 tentang Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya, dan Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2015 Tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya
  5. Pustakawan harus dapat menjamin fungsi perpustakaan dipahami oleh pelaku pendidikan.
  6. Pustakawan memerlukan dukungan moral dan regulasi dari pemerintah yang tidak bertentangan dengan UU RI No. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan.
 Hakikat sosial dari perpustakaan pada intinya adalah dengan memanfaatkan perpustakaan akan membantu pemustaka untuk menjadi lebih baik dalam mengerjakan sesuatu, perubahan tingkah laku kearah yang positif, tercapai tujuan yang mulia, mampu memcahkan permasalahan masyarakat, dan memunculkan kreativitas pemustaka.

Sumber bacaan:
Perpustakaan Nasional RI, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, 2008