Senin, 17 Juli 2017

KEMAMPUAN PUSTAKAWAN BERKOMUNIKASI KEPADA PEMUSTAKA



KEMAMPUAN PUSTAKAWAN BERKOMUNIKASI KEPADA PEMUSTAKA

Oleh:
Iskandar
(Pustakawan Ahli Madya Unhas)

Tulisan ini untuk memberi gambaran perlunya pustakawan memiliki kemampuan dalam berkomunikasi kepada pemustaka di perpustakaan. Kemampuan ini merupakan salah satu bentuk realisasi keterampilan sosial di perpustakaan. Dengan memiliki kemampuan berkomunikasi yang meliputi pengemasan pesan dan gaya berkomunikasi maka pustakawan akan membuat komunikasi yang terjadi dalam perpustakaan akan menjadi efektif dan menimbulkan daya tarik yang bermanfaat untuk perpustakaan. 

Berkomunikasi ke pemustaka di perpustakaan merupakan keterampilan yang perlu diketahui dan dikuasai oleh pustakawan. Karena itu, berkomunikasi perlu dilakukan karena pada prinsipnya, berkomunikasi termasuk kebutuhan manusia. Semua orang membutuhkan salaman, sapaan, dan perhatian dari orang lain sebagai realisasi dari wujud komunikasi.

Di perpustakaan, komunikasi dengan pemustaka diperlukan agar perpustakaan dapat berhasil merealisasikan peran, fungsi dan tujuan perpustakaan dengan sebaik-baiknya. Dengan berkomunikasi, pustakawan dapat mensosialisasikan tata-tertib perpustakaan sehingga pemustaka mengetahui tata tertib perpustakaan, mengerti tentang sanksi ketika melanggar tata tertib tersebut, pemustaka mengetahui cara memanfaatkan segala fasilitas yang dimiliki oleh perpustakaan, pemustaka mengetahui bagaimana mencari atau menemukan koleksi perpustakaan dengan cepat, pemustaka mengetahui dan mengerti bagaimana memelihara koleksi perpustakaan, bagaimana proses pemanfaatan koleksi baik yang ingin di baca dalam perpustakaan, maupun yang ingin di pinjam ke rumah, dan seterusnya.

Manfaat yang dapat diperoleh ketika pustakawan menguasai cara berkomunikasi kepada pemustaka menurut Iskandar (2016, 139) adalah
  1. Pustakawan dapat menyampaikan pesan atau informasi dengan baik dan pemustakan menanggapi atau meresponnya dengan baik pula maka akan tercipta suasana yang harmonis dan kenyamanan.
  2. Pustakawan dan pemustaka dapat terjalin komunikasi yang baik, karena semua yang dilakukan pustakawan baik dalam penyampaian informasi, maupun dalam penyebaran informasi direspon dengan baik oleh pemustaka. Bila hal ini terjadi maka citra pustakawan akan menjadi lebih cemerlang.
  3. Dengan terlaksananya proses komunikasi yang positif dan efektif maka pemanfaatan koleksi oleh pemustaka akan menjadi lebih baik dan sempurna sehingga berdampak pada keberhasilan layanan.
  4. Terjadi hubungan harmonis antara pustakawan dengan pemustaka sehingga perpustakaan dapat menjadi sumber informasi dan sumber pengambilan keputusan.
  5. Perpustakaan akan berjalan dengan baik, koleksi didayagunakan dengan baik, dan tujuan pengadaan atau pendirian perpustakaan terealisasi.
  6. Pemustaka mengerti dan mampu memanfaatkan perpustakaan secara mandiri atau sesuai dengan arahan pustakawan.
 Perlu dipahami bahwa komunikasi antara pustakawan dengan pemustaka dapat menjadi efektif jika menimbulkan daya tarik. Menurut Hidayat (2012, 3-10) Daya tarik ini bisa karena pengemasan pesan dan bisa juga karena gaya komunikasi pustakawan. 

A. Pengemasan Pesan
  1. Berusaha benar-benar mengerti orang lain. Ini adalah dasar dari apa yang disebut emphatetic communication (komunikasi empatik). Ketika kita berkomunikasi dengan orang lain, kita biasanya “berkomunikasi” dalam salah satu dari empat tingkat. Kita mungkin mengabaikan orang itu dengan tidak serius membangun hubungan yang baik. Kita mungkin berpura-pura. Kita mungkin secara selektif berkomunikasi pada saat kita memerlukannya atau kita membangun komunikasi yang atentif (penuh perhatian), tetapi tidak benar-benar berasal dari dalam diri kita. Bentuk komunikasi tertinggi  adalah komunikasi empatik, yaitu melakukan komunikasi untuk terlebih dahulu mengerti orang lain-memahami karakter dan maksud/tujuan atau peran orang lain.
  2. Kebaikan dan sopan santun yang sering kita anggap sebagai sikap atau perilaku yang sederhana, tetapi hal itu sangat penting dalam suatu hubungan-karena hal-hal yang kecil adalah hal-hal yang besar dalam membangun hubungan komunikasi.
  3. Mengembangkan komunikasi yang efektif adalah sikap menghargai setiap individu yang menjadi sasaran pesan yang kita sampaikan. Rasa hormat dan saling menghargai merupakan hukum yang pertama dalam kita berkomunikasi dengan orang lain. Ingatlah bahwa pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita harus mengritik atau memarahi seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaan seseorang. Jika kita membangun komunikasi dengan rasa sikap saling menghargai dan menghormati maka kita dapat membangun kerja sama yang menghasilkan sinergi yang akan meningkatkan efektivitas kinerja kita, baik sebagai individu maupun secara keseluruhan sebagai sebuah tim.
  4. Empaty (Empathy). Empati adalah kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Salah satu prasyarat utama dalam memiliki sikap empati adalah kemampuan kita untuk mendengarkan atau mengerti terlebih dulu sebelum didengarkan atau dimengerti oleh orang lain. Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesaan (receiver) menerimanya. Oleh karena itu, dalam keluarga, setiap anggota keluarga harus memahami perilaku masing-masing (individual behavior) merupakan keharusan. Dengan memahami perilaku anggota keluarga maka kita dapat empati dengan apa yang menjadi kebutuhan, keinginan, minat, harapan, dan kesenangan orang tua terhadap anak atau sebaliknya anak kepada orang tuanya. Demikian halnya dengan bentuk komunikasi lainnya, misalnya komunikasi dalam membangun kerja sama tim. Kita perlu saling memahami dan mengerti keberadaan orang lain dalam tim kita. Rasa empati akan menimbulkan respek atau penghargaan dan rasa respek akan membangun kepercayaan yang merupakan unsur utama dalam membangun teamwork. Jadi, sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan ataupun umpan balik apa pun dengan sikap yang positif. Banyak sekali dari kita yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal, esensi dan komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan.
  5.  Audible. Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Jika empati berarti kita harus mendengar terlebih dahulu ataupun mampu menerima umpan balik dengan baik maka audible bearti pesan yang kita sampaikan dapat diterima oleh penerima pesan. Hukum ini mengatakan bahwa pesan harus disampaikan melalui media atau delivery channel sedemikan hingga dapat diterima dengan baik oleh penerima pesan. Hal ini mengacu pada kemampuan kita untuk menggunakan berbagai media maupun perlengkapan atau alat bantu audio visual yang akan membnatu kita agar pesan yang kita sampaikan dapat diterima dengan baik. Komunikasi personal dalam hal ini, berarti bahwa pesan disampaikan dengan cara atau sikap yang dapat diterima oleh penerima pesan. Dari sisi delivery channel, penggunaan teknologi bisa membantu melipatgandakan pancaran sinyal pesan yang ingin disampaikan sehingga bisa diterima oleh jauh lebih banyak orang. Ini yang disebut sebagai kerja cerdas. Misalnya saja, dengan menggunakan media internet, kita bisa berkomunikasi dengan sangat mudah dan murah kepada orang tua atau anak yang berjauhan tempat. Adanya media ini sangat membantu hubungan orang tua, karier dan anaknya
  6. Clarity. Selain bahwa pesan harus dimengerti dengan baik, unsur keempat yang terkait dengan itu adalah kejelasan dari kesan itu sendiri sehingga tidak menimbulkan multi intrepretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Kesalahan penafsiran atau pesan dapat menimbulkan berbagai penafsiran akan menimbulkan dampak yang tidak sederhana. Clarity dapat pula berarti keterbukaan dan transparansi. Dalam berkomunikasi, kita perlu mengembangkan sikap terbuka (tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan) sehingga dapat menimbulkan rasa percaya (trust) dari penerima pesan atau anggota tim kita karena tanpa keterbukaan akan timbul sikap saling curiga dan pada gilirannya akan menurunkan semangat dan antusiasme kelompok atau tim kita.
  7. Humble. Membangun komunikasi yang efektif adalah sikap rendah hati. Sikap ini yang merupakan unsur terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati, pada intinya antara lain: sikap yang penuh melayani, sikap menghargai, atau mendengar dan menerima kritik, tidak sombong dan memandang rendah orang lain, berani mengakui kesalahan, rela memaafkan, lemah lembut dan penuh pengendalian diri, serta mengutamakan kepentingan yang lebih besar. Jika komunikasi yang kita bangun didasarkan pada lima unsur pokok pesan komunikasi yang efektif tersebut maka komunikasi akan berjalan efektif. Pada akhirnya, tujuan komunikasi pun tercapai, yaitu keinginan kita untuk mengubah sikap atau perilaku orang lain
B. Gaya komunikasi pustakawan.
Gaya komunikasi yaitu seperangkat perilaku komunikasi yang digunakan untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situsi yang tertentu pula. Kesesuaian dari suatu gaya komunikasi yang digunakan sangat ditentukan oleh maksud dari pengirim (sender) dan harapan dari penerima (receiver). Gaya komunikasi yang dimaksud yaitu:
  1. The controlling style. Gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini, ditandai dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa, dan mengatur perilaku, pikiran, dan tanggapan orang lain. Orang-orang yang menggunakan gaya komunikasi ini dikenal dengan nama komunikator satu arah atau one-way communications. Controlling style of Communication ini lebih memusatkan perhatian kepada pengiriman pesan dibanding upaya mereka untuk berharap pesan. Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian untuk berbagi pesan. Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian pada umpan balik, kecuali jika umpan balik atau feedback tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi mereka.  Para komunikator satu arah tersebut tidak khawatir dengan pandangan negatif orang lain, tetapi justru berusaha menggunakan kewenangan dan kekuasaan untuk memaksa orang lain mematuhi pandangan-pandangannya. Pesan-pesan yang berasal dari komunikator satu arah ini, tidak berusaha “menjual” gagasan agar dibicarakan bersama, namun lebih pada usaha menjelaskan kepada orang lain apa yang dilakukannya. The controlling style of communication ini sering dipakai untuk mempersuasi orang lain supaya bekerja dan bertindak secara efektif dan pada umumnya dalam bentuk kritik. Namun demikian, gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini tidak jarang bernada negatif sehingga menyebabkan orang lain memberi respon atau tanggapan yang negatif pula.
  2. The equalitarian style. Aspek penting gaya komunikasi ini ialah adanya landasan kesamaan. The equalitarian style of communication ini ditandai dengan berlakunya arus penyebaran pesan-pesan verbal secara lisan maupun tertulis yang bersifat dua arah (two way traffic communication). Dalam gaya komunikasi ini, tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya, setiap anggota organisasi dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat dalam suasana yang rileks, santai, dan informal. Dalam suasana yang demikian, memungkinkan setiap anggota organisasi mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. Orang-orang yang menggunakan gaya komunikasi yang bermakna kesamaan ini adalah orang-orang yang memiliki sikap kepedulian yang tinggi serta kemampuan membina hubungan yang baik dengan orang lain, baik dalam konteks pribadi maupun dalam lingkup hubungan kerja. The equalitarian style ini akan memudahkan tindak komunikasi dalam organisasi sebab gaya ini efektif dalam memelihara empati dan kerja sama, khususnya dalam sitausi untuk mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan yang kompleks. Gaya komunikasi ini pula yang menjamin berlangsungnya tindak berbagai informasi di antara para anggota dalam suatu organisasi.
  3. The structuring style. Gaya komunikasi yang berstruktur ini, memanfaatkan pesan-pesan verbal secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah yang harus dilaksanakan, penjadwalan tugas dan pekerjaan secara struktur organisasi. Pengirim pesan (sender) lebih memberi perhatian kepada keinginan untuk mempengaruhi orang lain dengan jalan berbagi informasi tentang tujuan organisasi, jadwal kerja, aturan dan prosedur yang berlaku dalam organisasi tersebut.
  4. The dynamic style. Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan agresif karena pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action oriented). The dynamic style of communication ini sering dipakai oleh para juru kampanye ataupun supervisor yang membawa para wiraniaga (salesman atau saleswomen). Tujuan utama gaya komunikasi yang agresif ini cukup efektif digunakan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan bahwa karyawan atau bawahan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah yang kritis tersebut. 
  5. The relinquishing style. Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk menerima saran, pendapat ataupun gagasan orang lain daripada keinginan untuk memberi perintah meskipun pengirim pesan (sender) mempunyai hak untuk memberi perintah dan mengontrol orang lain. Pesan-pesan dalam gaya komunikasi ini akan efektif ketika pengirim pesan atau sender sedang bekerja sama dengan orang-orang yang berpengetahuan luas, berpengalaman, teliti, serta bersedia untuk bertanggung jawab atas semua tugas atau pekerjaan yang dibebankannya.
  6. The withdrawal style. Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh orang-orang tersebut. Dalam deskripsi yang konkret adalah ketika seseorang mengatakan: “Saya tidak ingin dilibatkan dalam persoalan ini”. Pernyataan ini bermakna bahwa ia mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi juga mengindikasikan suatu keinginan untuk menghindari berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, gaya ini tidak layak dipakai dalam konteks komunikasi  dengan orang tua maupun dengan  orang lain dalam organisasi atau instansi. Ketika kita berkomunikasi, kita menerjemahkan gagasan kita ke dalam bentuk lambang (verbal atau nonverbal). Proses ini lazim disebut penyandian (encoding). Bahasa adalah alat penyandian, tetapi alat yang tidak begitu baik. Untuk itu, diperlukan kecermatan dalam berbicara, bagaimana mencocokkan kata dengan keadaan sebenarnya, bagaimana menghilangkan kebiasaan berbahasa yang menyebabkan kerancuan dan kesalahpahaman.
Pustakawan perlu memahami dan menguasai komunikasi yang efektif dan menarik agar komunikasi yang terjadi dalam perpustakaan juga akan menjadi efektif dan menimbulkan daya tarik. Adanya perbedaan pandangan, persepsi, pemikiran atau pemahaman dalam perpustakaan perlu diatasi dengan komunikasi, sehingga pada akhirnya akan terbentuk fungsi dan tujuan perpustakaan sebagai wahana pembelajaran sepanjang hayat yang menyenangkan.

Sumber bacaan:

Hidayat, Dasrun. Komunikasi Antarpribadi dan Medianya: Fakta Penelitian Fenomenologi Orang Tua Karir dan Anak Remaja. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012.

Iskandar. Manajemen dan Budaya Perpustakaan. Bandung: Refika Aditama, 2016.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar